MEMBANGUN BUDAYA BIROKRASI INDONESIA

Penulis :
Chafid Diyanto, S.Sos., Mahasiswa MAP Pascasarjana Unsoed Purwokerto (Penerima Beasiswa Unggulan Kemendiknas)


A. Pendahuluan

Seiring bergulirnya Era Reformasi pada tahun 1998 yang meliputi berbagai aspek kehidupan, reformasi birokrasi Indonesia juga menjadi sebuah harapan. Adapun salah satu aspek yang penting untuk mewujudkan reformasi birokrasi tersebut adalah reformasi pada tataran budaya organisasi publiknya. Karena reformasi birokrasi tidak akan pernah tercapai jika budaya birokrasinya masih bobrok. Sebagaimana diketahui bahwa hampir selama 32 tahun di bawah pemerintahan rezim Orde Baru, budaya birokrasi Indonesia terbilang kotor dengan maraknya praktik KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).
Dan untuk merubah budaya kotor yang telah mengakar di setiap lini birokrasi kita tentu bukan pekerjaan yang mudah. Hal ini terbukti, sampai sekarang pun birokrasi kita belum bisa bersih dari budaya kotor tersebut. Masih banyak kasus-kasus korupsi yang terkuak, yang mana disinyalir hanya sebatas pada koruptor kelas teri dan belum menjamah para koruptor kelas kakapnya. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan adanya komitmen bersama seluruh stakholder bangsa, baik dari masyarakat, pemerintah dan jajaran birokrasi itu sendiri, termasuk para birokrat muda yang diharapkan mampu menjadi agen perubahan (agent of change). Terlebih di tengah kelelahan untuk berharap pada birokrat-birokrat yang ’notabene’ masih sisa-sisa peninggalan Orde Baru.
Dalam makalah ini penulis mencoba menelaah kembali reformasi birokrasi dari aspek budaya birokrasinya. Kenapa birokrasi kita belum bisa terbebas dari budaya kotor dan bagaimana usaha untuk membangun budaya birokrasi yang bersih sesuai amanat reformasi, yang mana tentu penuh dengan rintangan dan kendala. Dan siapa saja yang berperan penting dalam pembentukan atau perubahan birokrasi Indonesia.

B. Pembahasan
Dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari manusia tidak dapat lepas dari yang namanya budaya. Setiap komunitas atau kelompok manusia pasti mempunyai budaya, seperti masyarakat Jawa, dengan budaya jawanya, masyarakat Betawi dengan budaya betawinya. Termasuk organisasi, juga memiliki budaya organisasi. Budaya sendiri berasal dari kata Sanskerta budhayah, yaitu bentuk dari ”budi” atau ”akal”. Banyak orang mengartikan budaya/kebudayaan dalam arti terbatas/sempit, yaitu pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang memenuhi hasratnya akan keindahan dengan hanya terbatas pada seni. Namun demikian, budaya/kebudayaan dapat pula diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan menjadi pedoman tingkah lakunya (Suwarto dan Koeshartono, 2009 : 1).
Stephen P. Robbins (2006 : 721) dalam bukunya yang berjudul ”Perilaku Organisasi” juga mendefinisikan budaya organisasi :
”...bahwa budaya organisasi mengacu ke sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-angggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi lain. Sistem makna bersama ini, bila diamati dengan lebih seksama, merupakan seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi itu.”

Selanjutnya Dwiyanto, dkk. (2002 : 88) dalam bukunya yang berjudul Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia mendifinisikan Budaya Birokrasi sebagai berikut :
”Budaya birokrasi dapat digambarkan sebagai sebuah sistem atau seperangkat nilai yang memiliki simbol, orientasi nilai, keyakinan, pengetahuan dan pengalaman kehidupan yang terinternalisasi ke dalam pikiran. Seperangkat nilai tersebut diaktualisasikan dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan yang dilakukan oleh setiap anggota organisasi yang dinamakan birokrasi.”

Budaya organisasi terdapat pada setiap organisasi, baik organisasi publik, organisasi sosial dan pada organisasi-organisasi yang bergerak di bidang administrasi bisnis (Safri Nurmantu, 2007 : 1).
Dari penjelasan di atas, maka dapat dipastikan organisasi publik pun memiliki budaya. Masalahnya sudah baikah budaya organisasi publik/birokrasi kita? Tentu dengan sepakat kita dapat menjawab belum baik. Budaya korupsi nampaknya masih belum hilang dari birokrasi kita, meski sudah 13 tahun berjalan semenjak era Reformasi didengungkan. Berbagai kasus korupsi pun terkuak, di mana yang masih hangat adalah kayus mafia pajak Gayus, yang cukup banyak menyita perhatian publik sekaligus mengundang kontroversi. Lalu kenapa budaya korupsi masih belum bisa hilang juga, apakah karena regenerasi aparatur birokrat dan pejabat mengalami kegagalan? Kemana generasi muda sebagai pemegang amanat perubahan ”agent of change” pergi?

1. Pembentukan Budaya Organisasi
Untuk menjawab kegelisahan ini nampaknya kita harus melihat proses pembentukan budaya itu sendiri. Karena suatu budaya tidak begitu saja terbentuk, termasuk budaya korup di organisasi publik atau birokrasi Indonesia. Terkait dengan proses pembentukan budaya, ada beberapa pendapat. Salah satunya adalah pendapat yang dikemukakan oleh Suwarto dan Koeshartono (2009 : 2) bahwa : Secara umum, perusahaan atau organisasi terdiri atas sejumlah orang dengan latar belakang, kepribadian, emosi, dan ego yang beragam. Hasil penjumlahan dan interaksi berbagai orang tersebut membentuk budaya organisasi.
Budaya organisasi tidak muncul begitu saja dari kehampaan. Setelah terbentuk, jarang budaya itu berangsur padam (Robbins, 2006 : 729).
Para pendiri organisasi biasanya mempunyai dampak besar pada budaya awal organisasi tersebut. Mereka mempunyai visi mengenai bagaimana seharusnya organisasi itu. Mereka tidak dikendalai oleh kebiasaan atau ideologi sebelumnya. Ukuran kecil yang lazimnya mencirikan organisasi baru mempermudah pemaksaan pendiri akan visinya pada semua anggota organisasi (Robbins, 2006 : 729).

Proses penciptaan budaya terjadi dalam tiga cara. Pertama, para pendiri hanya mempekerjakan dan mempertahankan karyawan yang berpikir dan merasakan cara yang mereka tempuh. Kedua, mereka mengindoktrinasikan dan mensosialisasikan para karyawan ini dengan cara berpikir dan cara berperasaan mereka. Dan akhirnya perilaku pendiri itu sendiri bertindak sebagai model peran yang mendorong karyawan mengidentifikasikan diri dengan mereka dan oleh karenanya menginternalisasikan keyakinan, nilai, dan asumsi-asumsi mereka. Bila organisasi berhasil, visi pendiri menjadi terlihat sebagai penentu utama keberhasilan. Pada titik ini, keseluruhan kepribadian pendiri menjadi tertanam ke dalam budaya organisasi (Robbins, 2006 : 729).

Sebagaimana banyak dikemukakan bahwa budaya organisasi dibentuk oleh pendiri dan pimpinan organisasi. Oleh karena itu, maka untuk dapat mewarnai budaya organisasi seseorang harus memiliki power atau kekuasaan. Internalisasi budaya tersebut bisa dalam bentuk peraturan tertulis maupun tidak tertulis. Peraturan tertulis antara lain : Visi Misi Organisasi, struktur organisasi, tata tertib, job discription/tupoksi, prosedur layanan, dll. Adapun yang tidak tertulis antara lain : mengucapkan salam ketika masuk ke ruang kerja, berjabat tangan saat datang dan pulang, dll. Bentuk struktur organisasi publik yang hirarkhis secara otomatis akan mempengaruhi budaya organisasi yang berkembang, budaya patuh dan taat antara bawahan terhadap atasannya adalah salah satunya. Budaya pasif, tidak kreatif juga akan terbentuk di dalamannya. Karena bawahan cenderung hanya bekerja berdasarkan jobdiskripsi dan tupoksinya saja atau sesuai perintah dan kehendak atasannya. Di jaman Orde Baru sering kita dengar istilah budaya ABS (Asal Bapak Senang) di lingkungan birokrasi kita, dan nampaknya budaya ini masih mengakar sampai sekarang. Kondisi ini tentu membuat bawahan enggan berkreatifitas, justru bawahan akan sangat berhati-hati dalam bekerja dan berpendapat, jangan sampai pendapatnya bertentangan dengan kehendak pimpinan atau atasannya bahkan menyinggungnya, karena hal tersebut akan berpengaruh terhadap kelancaran karirnya ke depan.
Tata tertib atau dalam lingkungan aparatur negara disebut dengan Kode Etik PNS, secara tertulis sudah cukup baik, namun pada taraf implementasi sulit untuk dikontrol. DP3 sebagai instrumen pelaksana di lapangan masih belum begitu mengena. Karena kembali lagi ke budaya ABS yang masih mewarnai birokrasi, membuat DP3 yang dibuat oleh pimpinan seperti macan ompong, tidak dapat berfungsi sebagai mana mestinya. Hal ini berbeda dengan organisasi privat, di mana tata tertib beserta sanksi sangat tegas dalam implementasinya. Pemberian riward pun menjadi salah satu pendorong motivasi bagi para pegawainya.
Kondisi inilah yang semakin memperparah budaya organisasi publik di Indonesia. Nampaknya Reformasi Birokrasi yang didengungkan seiring tumbangnya rezim Orde Baru dan mulai ditabuhnya genderang reformasi belum begitu menuai hasil. Budaya KKN dan ABS sebagai peninggalan Era Orde Baru masih melekat di tubuh birokrasi kita. Selama kurang lebih 32 tahun berkuasa membuat Orde Baru mampu menginternalisasikan budaya birokrasi secara sempurna. Soeharto sebagai pemegang kekuasaan mampu melembagakan budaya Jawa feodalis yang dianutnya secara baik.
Kasus birokrasi pada masa orde lama dan terlebih lagi di masa orde baru, pada dasarnya merupakan cermin dari kuatnya penguasa negara (pada berbagai arasnya) dalam mencengkeram tubuh birokrasi, sehingga birokrasi tak dapat berbuat banyak bagi masyarakat (Rizal Ramli, 2009 : 120).
Setelah suatu budaya terbentuk, praktik-praktik di dalam organisasi bertindak mempertahankannya dengan memberikan kepada para karyawannya seperangkat pengalaman yang serupa. Seperti : proses seleksi, kriteria evaluasi kinerja, praktik pemberian imbalan, kegiatan pelatihan dan pengembangan karir, dan prosedur promosi memastikan bahwa mereka yang dipekerjakan cocok dengan budaya itu, menghargai mereka yang mendukungnya, dan menghukum (bahkan memecat) mereka yang menentangnya. Tiga kekuatan memainkan bagian sangat penting dalam mempertahankan budaya : praktik seleksi, tindakan manajemen puncak, dan metode sosialisasi (Robbins, 2006 : 730).

Namun, bukan berarti kondisi ini adalah harga final. Karena suatu budaya masih dapat dirubah, termasuk budaya birokrasi Indonesia. Proses perubahan budaya birokrasi tersebut harus berangkat dari komitmen bersama semua pihak, terutama penguasa beserta jajaran pemerintah di bawahnya.

2. Membangun Budaya Birokrasi yang Baik
Dalam perjalanannya budaya organisasi/birokrasi yang telah dibentuk mengalami perubahan seiring dengan faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhinya. Antara budaya organisasi dan sumber daya manusia terdapat hubungan yang bersifat saling mempengaruhi. Budaya organisasi dibentuk oleh pendiri dan pemimpin organisasi, dan pada gilirannya budaya organisasi akan mempengaruhi sumber daya manusia yang masuk ke dalamnya, namun tak tertutup kemungkinan masuknya sumber daya manusia baru yang dapat mempengaruhi perubahan budaya organisasi.
Budaya organisasi tidak bersifat statis, seperti halnya manusia, budaya organisasi sesuai perjalanan waktu akan berkembang menjadi lebih dewasa. Budaya organisasi yang lebih dewasa akan lebih mampu menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Organisasi harus mengembangkan dirinya agar menjadi organisasi yang mampu membangun keunggulan (Wibowo, 2010 : 63).
Sebagai makhluk hidup, misalnya, organisasi dianggap mengalami daur hidup-lahir, menjadi anak-anak, remaja, dewasa, tua dan selanjutnya boleh jadi mati (Sobirin, 2007 : 127).
Pemimpin atau penguasa sebagaimana telah dibahas di atas adalah sebagai pemegang kekuasaan untuk merubah budaya yang ada di organisasinya, dalam hal ini adalah Presiden SBY. Namun, tentu saja harus pula didukung oleh aparatur birokrasi yang dibawahnya selaku perumus kebijakan dan pemberi layanan publik. Karena tidak akan berhasil jika pemerintah berjalan sendiri, tanpa didukung jajaran birokrasi di bawahnya serta masyarakat yang melakukan peran pengawasan (control).
Mungkin kita memang mulai mengalami kelelahan untuk berharap dari jajaran birokrasi yang ”notabene” masih sisa-sisa peninggalan Orde Baru. Karena bagaimanapun, budaya birokrasi yang selama 32 tahun mengendalikan kehidupan birokrasi Indonesia tidak dapat begitu saja ditinggalkan dan digantikan dengan budaya yang baru. Terlebih, jika budaya birokrasi tersebut telah tertanam di dalam jiwa araparatur birokrasi kita dan menjadi penyakit akut yang sulit untuk disembuhkan. Harapan pun tertuju pada para birokrat muda, generasi muda yang perlahan-lahan mulai mengisi jajaran birokrasi kita. Kita patut berharap dari mereka, karena tentu mereka boleh dibilang masih bersih belum terkontaminasi budaya kotor birokrasi kita. Mereka masih memiliki idialisme yang tinggi sebagai kesimpulan dari dialog intelektual mereka di bangku akademik, yang tentu menjadi sebuah cita-cita mereka untuk mewujudkannya.
Akan tetapi, bukan berarti regenarasi tersebut akan berjalan mulus sesuai harapan kita tanpa adanya hambatan dan rintangan yang menghadangnya. Karena seiring perjalanannya memasuki wilayah organisasi publik atau birokrasi, seseorang tentu mengalami tahapan-tahapan yang boleh dibilang sedikit banyak mempengaruhi prinsip, keyakinan dan idialismenya. Itulah sifat kodrati manusia, di mana dia akan merespon perubahan-perubahan di lingkungan sekitarnya. Dan bertemunya berbagai konsep nilai dalam suatu organisasi sangat mungkin akan terjadi perbedaan atau konflik. Sebagaimana digambarkan oleh Martha Brown dalam gambar berikut (Sobirin, 2007 : 168) :


# kemungkinan timbul konflik
## kemungkinan timbulnya konflik sangat besar

Sumber : Martha Brown, 1976, p.17

Adapun tahapan-tahapan yang sangat berpengaruh terhadap proses pembentukan jati diri atau budaya individu (individual’s culture) dari seorang birokrat penulis kelompokan menjadi tiga, yaitu :
1. Seleksi atau rekruetmen CPNS
Proses seleksi atau rekruetmen pegawai di dalam suatu organisasi sangat mempengaruhi kualitas pegawai itu sendiri nantinya. Begitu pula dengan rekruetmen CPNS atau calon birokrat di dalam birokrasi kita. Dengan proses seleksi yang menjunjung norma-norma kebaikan, etika, keadilan, transparansi dan akuntabilitas diharapkan output yang nantinya menjadi input Sumber Daya Manusia (SDM) dalam organisasi juga berkualitas. Dan sebaliknya, jika dari proses seleksi saja sudah sarat dengan praktik-praktir kotor dan kecurangan, seperti KKN, maka sangat jauh dari harapan hasilnya akan berkualitas.
Karena belum tentu proses seleksi yang bersih juga mengahasilkan calon-calon birokrat yang berkualitas pula. Sebagai individu, mereka tentu memiliki idialisme atau nilai-nilai yang mereka bawa masuk ke dalam lingkungan organisasi (birokrasi) yang belum tentu nilai-nilai tersebut adalah baik. Terlebih jika proses rekruetmennya sudah kotor, bagaimana mungkin memperoleh calon-calon birokrat yang berkualitas pula, terutama secara moral dan etika. Dengan proses seleksi yang kotor dan sarat dengan praktik KKN, maka akan membunuh idealisme calon birokrat itu sendiri. Dia tidak akan memiliki energi untuk memperjuangkan nilai-nilai kebaikan, karena hal itu bertentangan dengan prilaku dia sendiri. Dia akan mengambil posisi pasif dan aman, bahkan bisa jadi dia akan berusaha melembagakan nilai-nilai yang dia bawa ke dalam organisasi. Tentu hal ini semakin memperburuk keadaan.
2. Pembinaan CPNS untuk menjadi PNS
Dalam perjalanannya, seorang Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) harus melewati beberapa tahap. Tahapan yang utama adalah tahap uji coba dalam bekerja, guna menilai kinerjanya, antara 1 – 2 tahun. Tahap selanjutnya adalah Pendidikan dan Latihan Pra Jabatan (Diklat Prajab), yang bertujuan untuk membekali CPNS dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya nanti. Kemudian setelah itu, CPNS diwajibkan pula untuk melakukan tes kesehatan fisik dan mental.
Akan tetapi yang terjadi di lapangan adalah banyaknya ketidaktepatan dalam implementasinya. Selama masa uji coba, CPNS biasanya dianak-tirikan. Dia tidak diperlakukan sebagaimana pegawai-pegawai lain yang sudah PNS (senior). Sebagai junior tidak sedikit dari mereka yang dibebani banyak pekerjaan, tanpa diimbangi dengan pemenuhan hak-haknya. Pemberian ruang untuk perpendapat pun seolah tertutup, akibatnya mereka tidak mampu mengembangkan kreasi dan inovasinya.
Pelaksanaan Diklat Prajab pun masih diwarnai oleh budaya-budaya Orde Baru. Peserta dari awal sudah disetting atau dikondisikan sedimikan rupa. Dimana kebebasan perpendapat sangat dibatasi. Aturan-aturan yang kaku, kegiatan selama diklat yang cenderung bersifat rutinitas memberi kesan pada calon-calon birokrat untuk nantinya bersikap seperti itu pula dalam bekerja.
Selanjutnya, pada tahap tes kesehatan fisik dan mental, nampaknya masih menitik beratkan pada aspek kesehatan fisik saja dan mengesampingkan kesehatan mental dan spiritual. Akibatnya, output yang dihasilkan pun tidak jarang hanya manusia-manusia yang secara fisik sehat, akan tetapi secara mental dan spiritual sakit. Dalam melaksanakan tugas pun, orientasinya hanya sebatas untuk memenuhi nilai-nilai duniawi, yang pada akhirnya dapat menghalalkan segala cara. Hal ini berbeda dengan seseorang yang memiliki mental dan spiritual yang sehat, dalam bekerja dia disamping berorientasi duniawi tetapi yang terpenting dia juga berorientasi akhirat. Dia akan memandang tugas dan pekerjaannya sebagai amanat Tuhan yang harus dipertanggungjawabkan kepada-Nya.
3. Lingkungan organisasi
Sifat manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari interaksi dengan lingkungan. Termasuk di dalam bekerja, lingkungan organisasi sangat berpengaruh terhadap diri manusia sebagai individu yang berada di dalamnya. Begitu pula seorang birokrat sedikit banyak akan terpengaruh lingkungan birokrasi sebagai tempat dia bekerja. Sedangkan kita ketahui bersama bahwa lingkungan birokrasi kita sampai detik ini belum bisa dikatakan baik, termasuk pada aspek budaya birokrasinya. Lalu dengan kondisi lingkungan birokrasi yang demikian, masihkah kita dapat berharap akan memperoleh seorang birokrat yang kredibel, melakukan tugas dan tanggungjawabnya secara baik dengan menjunjung nilai-nilai etika, moral, transparansi, akuntabilitas, kejujuran dan memandang pekerjaannya sebagai amanat Tuhan. Terlebih jika input yang diperoleh sudah tidak berkualitas, akibat dari lemahnya sistem seleksi dan pembinaan CPNS.

Kembali ke pokok permasalahan, yaitu bagaimanakah cara yang harus diupayakan untuk merubah budaya birokrasi kita yang masih buruk tersebut. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa pembangunan budaya birokrasi yang baik harus didukung oleh seluruh stakholder yang ada dan dilakukan melalui berbagai bidang kehidupan. Pendidikan yang berkarakter merupakan salah satu langkah yang cukup signifikan. Karena melalui pendidikan, kita dapat menanamkan moral dan etika yang menjunjung nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan kebaikan kepada generasi muda. Dengan pendidikan yang berkarakter, diharapkan menghasilkan output yang berkualitas baik dari segi akademik maupun moralitas. Sehingga ketika dia masuk ke dalam lingkungan birokrasi akan mampu membawa diri, bahkan diharapkan dapat menjadi agen perubahan (agent of change) dari budaya birokrasi yang buruk.
Dari sisi rekruetmen dan pembinaan CPNS juga perlu dibenahi kembali dengan lebih mengedepankan nilai-nilai kejujuran, transparansi, akuntabilitas serta bersih dari praktik KKN. Pemberian ruang kepada birokrat-birokrat muda agar bisa menuangkan ide dan gagasannya juga perlu diperhatikan, sehingga ilmu yang mereka miliki tidak mandul. Batasan antara senior-junior agar lebih bersifat sharing atau berbagi pengalaman serta pengetahuan, sehingga tidak timbul kesenjangan di antara keduanya. Yang muda menghormati yang tua, dan yang tua menyayangi yang muda.

C. Kesimpulan
Sudah sekian lama Era Reformasi berjalan. Akan tetapi nampaknya belum ada hasil yang memuaskan, termasuk pada aspek reformasi birokrasi yang antara lain meliputi budaya birokrasinya. Budaya birokrasi Indonesia sampai saat ini belum bisa dikatakan baik, karena masih banyak ditemukan praktik-praktik kotor atau KKN.
Budaya KKN dan ABS sebagai peninggalan Era Orde Baru masih melekat di tubuh birokrasi kita. Selama kurang lebih 32 tahun berkuasa membuat Orde Baru mampu menginternalisasikan budaya birokrasi secara sempurna. Soeharto sebagai pemegang kekuasaan mampu melembagakan budaya Jawa feodalis yang dianutnya secara baik. Kasus birokrasi pada masa orde lama dan terlebih lagi di masa orde baru, pada dasarnya merupakan cermin dari kuatnya penguasa negara (pada berbagai arasnya) dalam mencengkeram tubuh birokrasi, sehingga birokrasi tak dapat berbuat banyak bagi masyarakat (Rizal Ramli, 2009 : 120).
Dan untuk merubah budaya kotor yang telah mengakar di setiap lini birokrasi kita tentu bukan pekerjaan yang mudah. Pemimpin atau penguasa adalah pemegang kekuasaan untuk merubah budaya birokrasi kita, dalam hal ini adalah Presiden SBY. Namun, tentu saja harus pula didukung oleh aparatur birokrasi yang dibawahnya selaku perumus kebijakan dan pemberi layanan publik. Karena tidak akan berhasil jika pemerintah berjalan sendiri, tanpa didukung jajaran birokrasi di bawahnya serta masyarakat yang melakukan peran pengawasan (control).
Oleh karena itu, sangat dibutuhkan adanya komitmen bersama seluruh stakholder bangsa, baik dari masyarakat, pemerintah dan jajaran birokrasi itu sendiri termasuk para birokrat muda yang diharapkan mampu menjadi agen perubahan (agent of change). Terlebih di tengah kelelahan untuk berharap pada birokrat-birokrat yang ’notabene’ masih sisa-sisa peninggalan Orde Baru.
Namun harapan tersebut dalam praktiknya menemui beberapa kendala. Karena dalam internalisasi budaya pribadi ke dalam budaya organisasi memerlukan adanya power atau kekuasaan, dan hal ini belum dimiliki oleh birokrat-birokrat muda kita. Selanjutnya dalam perjalanannya birokrat muda pun mengalami masa transisi yang tentu sedikit banyak mempengaruhi pembentukan jati dirinya, tahapan tersebut antara lain : proses rekruetmen, pembinaan dan lingkungan kerja. Ketiga tahapan tersebut berperan penting dalam pembentukan jati diri individu birokrat yang pada akhirnya sangat penting pula dalam pembangunan budaya birokrasi yang baik.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apakah Ikan Red Devil dapat dikonsumsi?

TEBAK-TEBAKAN LUCU